Selasa, 02 November 2010

Introduction to Literature

Monalisa Smile

Para Pemeran Wanita dalam film Monalisa Smile (ist)JUDUL Monalisa Smile dalam film ini hanya-lah penganalogian dari tokoh utama yang selalu tersenyum meskipun sebenarnya setumpuk masalah selalu datang melandanya, seperti lukisan karya Leonardo Da Vinci yang berjudul Monalisa Smile. Meskipun di bibir Sang Monalisa dihiasi dengan seulas senyum, kedua matanya menyiratkan kese-dihan yang mendalam.
Perempuan berhak untuk mengejar impiannya sendiri, tanpa harus ada paksaan dari orang lain. Perempuan juga bebas menentukan jalan yang akan dilalui dalam hidupnya, tanpa harus terjebak dalam tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Intinya, apa pun yang kelak dipilih oleh seorang perempuan, entah menjadi ibu rumah tangga, wanita karier atau bahkan keduanya, hal tersebut seharusnya merupakan keputusan yang ia pilih atas kesadarannya sendiri. Tanpa paksaan dari siapa pun dan tanpa dikekang oleh apa pun.

Kurang lebih seperti itulah tema yang ingin diangkat oleh sutradara Mike Newell dalam film garapannya yang berjudul Monalisa Smile. Film yang dibintangi oleh artis kawakan Julia Roberts ini bercerita tentang perjuangan seorang guru untuk merubah tradisi yang berlangsung. Tradisi yang menempatkan perempuan sebagai individu nomor dua setelah laki-laki. Tradisi yang mengharuskan seorang perempuan untuk “rela” menyerahkan seluruh  hidupnya demi meng-abdi pada laki-laki yang menjadi suaminya. Dan tradisi yang seolah memaksa seorang perempuan untuk mengubur dalam-dalam seluruh impiannya di depan gerbang pernikahan.
Kisah yang berlatar belakang tahun 1953-1954 ini berawal dari kedatangan Katherine Watson (Julia Roberts), seorang lulusan University of California Los Angeles (UCLA), di sebuah kampus bernama Wellesley College di daerah New England. Di kampus khusus wanita inilah kemudian ia diterima sebagai pengajar mata kuliah sejarah seni.
Pada awalnya, Watson yang memang berpikiran maju, merasa sangat antusias untuk mengajar. Dia berharap bahwa di kampus tersebut ia akan bertemu dengan siswa-siswa cerdas dan modern yang juga berpikiran maju sepertinya.

Namun ternyata,  kenyataan yang terjadi sedikit di luar dugaan. Siswa-siswa di kampus tersebut memang cerdas, bahkan bisa dikatakan sangat cerdas. Saking cerdasnya, sehingga di hari pertama Watson mengajar, ia harus rela salah tingkah dan berkeringat dingin. Pasal-nya, seluruh siswa di kelasnya telah mempelajari dan menghafalkan seluruh bahan kuliah yang tertera dalam silabus. Watson yang masih tercengang akan kecerdasan siswa-siswanya tersebut dibuat makin salah tingkah ketika salah satu siswanya dengan angkuh mengatakan, ”Kalau memang tak ada lagi yang diberikan, kami bisa pulang kan?”.
Berawal dari situlah Watson menyadari bahwa perjuangannya di kampus tersebut tidak akan berjalan dengan mudah. Namun, bukan Katherine Watson namanya kalau kemudian ia menyerah pada keadaan. Dihadapkan dengan kenyataan yang pelik itulah yang kemudian mendorongnya untuk melakukan sebuah perubahan.
Setelah mengetahui bahwa seluruh siswanya telah menghafalkan seluruh isi silabus, maka Watson mencari alternatif lain. Ia pun menyiapkan materi di luar silabus yang akhir-nya berhasil membuatnya mendapat perhatian dari para siswa.
Untuk sejenak, Watson bisa merasa lega karena satu persoalan telah terpecahkan. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama. Ia harus kembali dihadapkan dengan kenyataan pelik bahwa lingkungan tempatnya mengajar ternyata tidak dapat menerima perubahan. Watson pun kemudian mendapat peringatan dari institusi tempatnya mengajar agar tidak memberikan materi di luar silabus.

Segalanya menjadi semakin sulit ketika  ia harus menerima kenyataan lain bahwa meskipun cerdas dan angkuh, ternyata cara berpikir para siswanya masih kuno. Mereka masih terjebak pada tradisi yang menciptakan pola pikir bahwa tujuan utama dalam hidup mereka adalah menikah dan mempunyai anak. Seberapa pun cerdasnya mereka, mereka hanya harus menunggu seorang laki-laki yang akan datang melamarnya, menikah, diwisuda, mempunyai anak dan yang terakhir menjalankan peran mereka sebagai ibu rumah tangga yang baik. Impian untuk memiliki karier yang cemerlang tetap hanya sebatas impian tanpa ada usaha untuk mewujudkannya.

Watson kemudian bertekad untuk merubah pola pikir tersebut. Setiap ada kesempatan, ia berusaha menyadarkan para siswanya agar berusaha untuk maju. Mereka cerdas dan memiliki kemampuan untuk memiliki karier cemerlang yang mereka inginkan. Mereka juga dapat menjalankan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier secara bersamaan. Kira-kira seperti itulah yang berusaha disampaikan oleh Watson kepada para siswanya.
Bagi beberapa siswanya, Joan Brandwyn (Julia Stiles), Giselle Levy (Maggie Gyllenhaal), dan Connie Baker (Ginnifer Goodwin), apa yang dikatakan oleh Watson mulai sedikit mempengaruhi mereka. Bahkan Joan Brandwind yang saat itu sedang menunggu untuk dilamar oleh kekasihnya, sempat mengutarakan niatnya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Yale. Brandwind sebenarnya bercita-cita menjadi seorang pengacara handal. Namun, selama ini ia masih bingung memilih antara mengejar karier atau menjadi ibu rumah tangga.

Di tengah usahanya untuk mendorong Brandwyn agar mendaftar ke Universitas Yale, rupanya Watson menghadapi tantangan dari para pejabat dan alumni kampus. Tak hanya itu, salah satu siswanya yang terpandai yaitu Betty Warren (Kirsten Dunst) juga tak henti menyerang Watson lewat tulisan-tulisannya di majalah kampus. Walaupun harus menerima tekanan dari berbagai arah, Watson tak gentar. Ia tetap berusaha membuka mata para siswanya untuk maju. Usaha itu akhirnya berbuah ketika Brandwind diterima di universitas Yale.
Watson memang telah membawa pelajaran baru bagi para siswanya. Pelajaran yang mengajarkan mereka bahwa perempuan juga berhak mengejar impiannya. Namun, sepertinya tak hanya para siswa yang mendapat pelajaran.
‘’Ini pilihanku. Aku memang tidak bisa pergi ke Yale, tapi kelak aku akan menyesal kalau tidak menikah dan membesarkan anak-anakku sen-diri,’’ ujar Brandwyn ketika akhirnya ia memutuskan untuk tidak pergi ke Yale dan lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Dari ucapan Brandwyn tersebut, akhirnya Watson pun sedikit banyak belajar bahwa menjadi ibu rumah tangga juga bukan merupakan pilihan yang buruk. Menjadi ibu rumah tangga juga bukan berarti kuno dan tidak maju. Nilai seorang wanita tidak dapat ditentukan hanya dari profesi yang mereka geluti. Apa pun pilihan seorang perempuan, yang terpenting adalah hal tersebut benar-benar merupakan keputusan yang ia ambil dengan kesadaran penuh tanpa paksaan dari siapa pun.

Secara garis besar, film yang menggandeng beberapa nama yang sudah tak asing lagi di dunia perfilman internasional ini cukup menarik. Setting tahun 1953-an dalam film ini digambarkan dengan sangat apik hingga para penonton seolah benar-benar diajak untuk kembali ke masa lalu. Nuansa feminisme yang kental dalam film ini juga menjadi daya tarik sendiri bagi para penonton. Meskipun kisah ini berfokus pada problematika yang melanda sekelompok perempuan, bukan berarti film ini tak layak dinikmati oleh kaum laki-laki. Dari film ini (seharusnya) laki-laki juga bisa banyak belajar dan banyak tahu mengenai permasalahan kaum perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar